masukkan script iklan disini
MAKNA KATA “RADING” DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT PAKPAK
Oleh: Anna Martyna Sinamo
M. Joustra menulis sebuah buku yang berjudul “Batak Spiengel” atau kalau diterjemahkan secara bebas artinya “Cermin Batak” yang ditulis cetakan pertama pada tahun 1910 dan cetakan kedua pada 1926.
Buku Ini kerjasama antara Bataks Institute dan para pejabat Hindia Belanda yaitu pejabat C. Poortman, H. Stap, L. van Vuuren, dan W. K. H. Ypes. Risalah cetak tercantum dalam "Litteratuuroverzicht der Bataklanden", Leiden, L. H. Becherer, 1907.
Buku ini berbicara tentang konstruksi kolonial secara administrasif dalam rangka pembentukan Keresidenan Tapanuli, Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Sibolga Omstreken dalam kerangka penaklukan Sumatera Utara ke dalam pemerintahan Kolonial Belanda.
Masuknya “Pakpaklanden” di Keresidenan Tapanuli menjadi salah satu bagian dari Afdeling Batak Landen dan mengubahnya menjadi “Dairilanden” pada 1908 telah membawa babak baru dalam politik tata ruang etnik di Sumatera Utara.
Politik tata ruang etnik yang diterapkan oleh pemerintah Belanda di Keresidenan Tapanuli telah berhasil menganeksasi wilayah-wilayah yang tadinya merdeka dan memiliki tata kelola pemerintahan sendiri, menjadi tunduk pada tata pemerintahan kolonial.
Benteng Sidikalang dibangun pada 1908 dibawah kendali Van Vuuren berpangkat controleur van Der Dairi Landen, dibantu oleh seorang Demang yang berasal dari Toba yaitu Demang Lumban Tobing.
Pembangunan Benteng Sidikalang ini berdampak sangat signifikan pada migrasi pendatang dari Toba dalam rangka membangun infrastruktur dan birokrasi kolonial di Dairilanden.
Keberpihakan Raja-raja dan Pertaki Pakpak terhadap Sisingamangaraja XII sejak 1887-1907 yang melakukan perlawanan dan gerilya di Tanoh Pakpak telah menjadi catatan kepada Belanda bahwa orang Pakpak harus diberikan tekanan khusus agar kepatuhan mereka terhadap kolonial bisa terbentuk.
Pemerintah kolonial Belanda membangun rumah candu di Sidikalang dan Salak sebagai tempat mengontrol para raja dan pertaki dalam sebuah “kepatuhan absolut” dengan membuat mereka kecanduan pada opium yang menjadi gaya hidup ketika itu.
Dalam proses pembangunan benteng Sidikalang dan infrastruktur pemerintah kolonial, maka pendatang dari Toba yang sudah dididik oleh zending mengambil alih pembangunan itu disana. Jumlah mereka pada 1920 ada sekira 23 ribu orang sesuai dengan catatan Lance Castle berdasarkan Data dari Andreas Simangunsong sebagai orang yang bertanggung jawab dalam migrasi orang Toba ke Simalungun dan Dairilanden.
Kehadiran dari puluhan ribu orang Toba ke Dairilanden tentu saja membutuhkan ruang hidup berupa kuta (kampung) dan juga perjumaan (perladangan) yang harus diambil dari tanah yang dimiliki oleh orang Pakpak di Pakpaklanden.
Pada saat itulah kata “RADING” yang artinya “PEMBERIAN” kemudian terbentuk dan dipakai. Tanah Rading ini adalah tanah pemberian Sipajek Rube/Sukut Nitalun yaitu marga-marga pemangku ulayat Pakpak yang terdiri dari lima kelompok suak yang disebut dengan Suak Pegagan, Suak Keppas, Suak Simsim, Suak Kelasen dan Suak Boang.
Tanah pemberian ini tentu saja memiliki aturan adat dalam proses pemberiannya. Itulah sebabnya sejak jaman kolonial hingga saat ini di Pakpakland/Dairiland apabila menerbitkan HGU dan sertifikat kepemilikan dibutuhkan alas hak dari pemangku ulayat yang disebut dengan Lembaga Sulang Silima.
Tanah rading juga ada berbagai jenis, ada tanah rading berru yaitu tanah yang diberikan kepada satu marga karena menikah dengan puteri sipajek rube. Contoh marga Sigalingging yang ada di Panji Sibura-bura adalah tanah rading berru yang diberikan marga Ujung kepada marga Sigalingging, bahkan marga Sigalingging di Panji Sibura-bura telah mendirikan Lembaga Sulang Silima Marga Sigalingging.
Berbeda dengan Marga Sigalingging yang di Parbuluan 1, rading diberikan kepada mereka oleh Belanda pada tahun 1938 dan mewajibkan marga Sigalingging membayar upeti/pajak kepada marga pemangku ulayat disana yaitu marga Capah.
Dari dua jenis pemilikan tanah oleh marga Sigalingging di Dairilanden, telah menjelaskan secara terang benderang bahwa marga Sigalingging adalah pendatang di Dairilanden, mereka “diberikan perkampungan” disana, dibatas yang sudah ditetapkan sebagai “kuta/huta” tidak diluar dari wilayah yang sudah ditentukan.
Adanya upaya untuk merevisi Permendagri No 28 Tahun 2019 yang sudah sangat jelas memetakan batas wilayah administratif Kab. Dairi dan Pakpak Bharat oleh Kemendagri dan batas wilayah kultural oleh Suak Keppas marga Capah dan Suak Simsim marga Sortagiri, adalah sebuah pelanggaran hukum negara maupun hukum adat Pakpak.
Adapun alasan dibalik semua revisi Permedagri yang akan memicu konflik horizontal berupa konflik agraria ini, yaitu adany mafia tanah, mafia kayu, illegal loging yang dibekingi oleh oknum-oknum aparat dan perangkat desa, maka demi hukum yang berlaku di NKRI yaitu UUD Pasal 18B, UU No 5 tahun 1960 dan Permendagri No 28 Tahun 2019, para mafia harus dilawan!
Salam Literasi yang Mengedukasi
@penggemar berat
#uutanahulayat #pakpaksilimasuak #TanahUlayat #PAKPAK #pakpakbharat #dairi #pakpakbukanbatak




