masukkan script iklan disini
PEMERTAHANAN BANU HARHAR MENUJU MASA DEPAN PAKPAK RAYA
Wilayah Pakpak silima suak merupakan kesatuan adat dan budaya yang tak terpisahkan bagi suku Pakpak, dengan bukti arkeologis dan historis yang kuat dari berbagai situs bersejarah.
Situs Sigiring-giring, Pinagar, Banu Harhar, Sicike-cike, dan Ganda Sumurung menjadi saksi bisu atas peradaban kuno suku ini, yang mencerminkan identitas kolektif Pakpak Silima Suak—terdiri dari Simsim, Pegagan, Kelasen, Keppas, dan Boang.
Lokasi-lokasi ini tidak hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga simbol kesatuan adat yang telah bertahan selama berabad-abad, sebagaimana tercermin dalam berbagai catatan sejarah dan diskusi masyarakat Pakpak.
Banu Harhar, khususnya, menjadi pusat spiritual dan historis yang menghubungkan berbagai suak, menegaskan bahwa wilayah Pakpak bukan sekadar tanah administratif, melainkan tanah ulayat yang dilindungi oleh nilai-nilai adat.
Namun, kesatuan ini tengah diancam oleh revisi batas wilayah antara Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat, yang berupaya direvisi dan digeser yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 28 Tahun 2019.
Revisi ini berpotensi mengurangi sekitar 100.000 hektare wilayah Pakpak Bharat, yaitu Kec. Tinada, kecamatan Siempat Rube dan Kec. STTUJ di Kab. Pakpak Bharat dengan memindahkan tapal batas ke wilayah Kec. Parbuluan di Kabupaten Dairi, yang secara historis merupakan bagian integral dari tanah Pakpak.
Tapal batas yang digeser tersebut melibatkan konsesi PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) dan PT Gruti, yang selama ini dianggap sebagai donatur dalam pemilihan kepala daerah di wilayah seputar Danau Toba.
Di wilayah itu, didiami oleh marga Situmorang, Sinaga, Pandiangan, Sagala, Sigalingging, dan Sitohang, yang notabene adalah marga-marga Toba yang migrasi ke Tanoh Pakpak pada masa kolonial.
Penggeseran ini bukan hanya masalah administratif, tetapi juga bentuk pencaplokan yang mengancam hak ulayat masyarakat Pakpak, dengan implikasi ekonomi dan budaya yang mendalam.
Di balik revisi ini, terdapat dugaan persekongkolan antara Parna Sigalingging dan Parna Tumanggor, yang diduga bekerja sama untuk memuluskan perubahan batas demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Kolaborasi ini semakin diperburuk oleh upaya merongrong kesatuan Pakpak melalui rencana pengangkatan Mutsyuhito Solin sebagai ketua Toga Pandiangan. Solin, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Bupati Pakpak Bharat periode 2021-2024, dianggap sebagai figur yang bisa dimanfaatkan untuk memecah belah solidaritas adat Pakpak, mengingat posisinya yang strategis di pemerintahan. Langkah ini dilihat sebagai strategi untuk melemahkan perlawanan internal suku Pakpak terhadap ancaman eksternal.
Lebih jauh, kehadiran Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan 906/dan 908/ di Pakpak Bharat bukanlah kebetulan, melainkan grand design oleh para “Pembatak” (kelompok Batak tertentu) dalam rangka pencaplokan wilayah yang lebih besar.
Batalyon ini, yang baru saja diresmikan dan disambut oleh masyarakat setempat, sebenarnya menjadi alat untuk memperkuat pengaruh demi tujuan pembentukan Ibukota Provinsi Toba Raya.
Wacana pemekaran Provinsi Toba Raya dari Sumatera Utara, yang melibatkan hingga 10 kabupaten dan kota seperti Samosir, Toba, Humbang Hasundutan, dan Pematang Siantar sebagai pusat perdagangan, merupakan hasil kerjasama antara (LBP) dan menantunya yang saat ini sebagai KASAD.
Rencana Provinsi baru ini diharapkan menjadi kawasan otonom dengan fokus pada pariwisata dan ekonomi, tetapi bagi Pakpak, ini berarti pengorbanan wilayah mereka untuk ambisi kelompok lain.
Sortagiri, sebagai lembaga adat yang terdiri dari tiga marga utama, beserta seluruh elemen masyarakat Pakpak, tidak akan membiarkan sejengkal pun tanah Pakpak diambil oleh Pembatak demi kepentingan berdirinya Provinsi Toba Raya. Perlawanan ini adalah bentuk pembelaan atas kedaulatan adat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Konsekuensi hukum dari penggeseran batas wilayah melalui revisi Permendagri No 28 Tahun 2019 ini dapat dianggap sebagai bentuk genosida budaya dan pemusnahan peradaban suku Pakpak, karena mengancam eksistensi adat dan hak ulayat mereka. Namun, perlawanan Sortagiri dan suku Pakpak akan terus disuarakan demi menjaga kedaulatan suku Pakpak di NKRI.
Subulussalam dan Singkil di Aceh, yang merupakan wilayah Pakpak Boang sebagai salah satu suak Pakpak, menjadi bagian tak terpisahkan dari solidaritas ini. Ketika Suak Simsim dan Suak Keppas terzolimi, Suak Boang akan membela dan menjadi benteng pertahanan tanpa kompromi, memperkuat persatuan Pakpak di seluruh wilayah.
Pemertahanan Banu Harhar bukan hanya perjuangan hari ini, tetapi juga langkah menuju masa depan Pakpak Raya yang mandiri dan berdaulat.
Solidaritas suku Pakpak harus terus dijaga, agar warisan leluhur tidak hilang ditelan ambisi pemekaran wilayah yang tidak adil.
Salam Literasi Yang Mengedukasi.
Sumber : Anna Martyna Sinamo






